Ferry Irwandi Yakini Dalang Kerusuhan Bisa Dilacak Lewat Jejak Digital
pesonakebun.com – Ferry Irwandi, founder Malaka Project, meyakini bahwa dalang di balik kerusuhan demonstrasi akhir Agustus 2025 bisa dilacak lewat jejak digital media sosial. Menurutnya, hanya perlu modal analisis data sederhana lewat hashtag, tanggal, dan platform seperti TikTok atau Google untuk melihat akun-akun yang memprovokasi.
Dalam program Rakyat Bersuara di iNews, Ferry bilang, “Dalam hitungan menit kita bisa tahu dari mana isu muncul, siapa yang memakai hashtag seperti #BubarkanDPR, afiliasi mereka apa, siapa yang dukung atau serang. Simpel kok.”
Keyakinannya itu muncul dari teknik data analytics, scraping, dan OSINT (Open Source Intelligence) yang kini semakin mudah diakses. Tanpa alat rumit sekalipun, pola penyebaran provokasi bisa terlihat jelas hanya dengan memasukkan tanggal dan hashtag pada platform pencarian.
Ferry bahkan siap bertanggung jawab hukum kalau penemuannya keliru—bahkan rela dipenjara jika metode yang dia ungkap terbukti tidak akurat.
Teknik Analisis Data yang Dipakai — Praktis dan Cepat
Menurut Ferry, strategi pelacakan tak perlu rumit. Cukup mulai dengan hashtag seperti #BubarkanDPR sebelum tanggal aksi, misalnya 25 Agustus, lalu lihat akun-akun serupa di TikTok atau Google. Akun yang sering muncul bisa jadi indikator awal siapa yang menyebarkan narasi provokasi.
Dari situ, intelijen bisa melakukan tracking. Bukan berarti langsung menetapkan bahwa pemilik akun adalah pelaku, tapi setidaknya mereka masuk ke radar pemeriksaan lebih lanjut. Aliran dana dan pola gerak mereka bisa mulai dipetakan, membuka jalur awal penyelidikan.
Ferry sebut analisis ini bisa selesai kurang dari lima menit—bahkan anak muda pun bisa coba sendiri. “It’s not rocket science… kalau cek di TikTok, Instagram atau X pasti ketemu dalam waktu kurang dari 5 menit,” jelasnya.
Reaksi Publik & Diskusi Panel yang Menegangkan
Dalam diskusi panel dengan tokoh seperti mantan intelijen, pengamat politik, hingga aktivis 98, Ferry justru mampu membuat narasumber lain sedikit terdiam karena penyampaian teknisnya yang lugas dan berbasis data.
Pendekatannya sangat ilmiah—berbeda dengan pembicaraan spekulatif. Lebih konkret, fokus ke data. Ferry menjelaskan bahwa dari hashtag, dapat terlihat konteks dukungan terhadap suatu institusi, afiliasi akun, dan narasi yang diangkat. Detail itu membuka kaca pandang baru soal analisis digital terhadap demonstrasi anarkis.
Meski begitu, Ferry juga mengingatkan agar hasil analisis tidak dijadikan kesimpulan final. “Hasil penelusuran itu hanya starting point, bukan bukti final. Aparat tetap perlu investigasi lebih lanjut,” tegasnya.
Risiko Algoritma Bila Salah Digunakan—Kudeta Informasi
Ferry juga menyoroti bahaya algoritma jika salah digunakan. Ia menjelaskan, algoritma bisa jadi pedang bermata dua—berguna bila digunakan benar, tapi bisa berbahaya kalau disalahpakai. Kebenaran data dan kapasitas pengguna jadi penentu.
Selain itu, dalam diskusi muncul pula perdebatan mengenai definisi “ikut rusuh” versus “perusuh”. Ferry menentang pandangan bahwa mereka yang “ikut rusuh” tidak bisa dikategorikan pelaku. Logika itu menurutnya celaka—karena yang ikut kerusuhan tentu juga salah satu bagian dari tindakan anarkistis.
(Penutup): Maknanya bagi Penyelidikan dan Demokrasi Digital
Pendekatan Ferry Irwandi memberi gambaran baru: bagaimana data dan teknologi bisa mempercepat transparansi politik dan hulunya demokrasi digital. Walau bukan alat final, metode tersebut adalah titik awal penting yang harus dimanfaatkan aparat untuk penyelidikan lebih dalam.